Indonesia Butuh Ahli Komodo
>> Wednesday, February 2, 2011
Meskipun tercatat sebagai satu-satunya negara yang memiliki habitat komodo, Indonesia tidak memiliki ahli khusus komodo. Penelitian komodo lebih banyak dilakukan ilmuwan asing, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti Indonesia hanya bersifat melengkapi.
Kondisi itu justru terjadi di tengah perjuangan Indonesia menjadikan komodo sebagai salah satu dari tujuh keajaiban alam. Berdasarkan data www.new7wonders.com, Selasa (1/2), komodo menduduki peringkat ke-10 dari 28 finalis yang dipilih oleh pemilih perempuan dan peringkat kedua berdasarkan usia pemilih berusia kurang dari 18 tahun.
Ahli herpetologi atau kajian amfibi dan reptil di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mumpuni, menegaskan, ahli yang mengetahui segala-seluk beluk komodo memang belum ada di Indonesia. Penelitian biologi di Indonesia masih difokuskan pada pendataan potensi dan sebaran keanekaragaman hayati Indonesia yang belum terkumpul semua.
”Peneliti Indonesia belum menjadikan komodo sebagai kajian khusus karena masih banyak bidang lain yang juga penting dikaji,” katanya.
Berdasarkan data Departemen Kehutanan pada 1994, Indonesia menempati posisi ke-2 dalam jumlah keanekaragaman hayati dunia setelah Brasil. Indonesia diperkirakan memiliki 90 tipe ekosistem mulai dari puncak salju di Pegunungan Jayawijaya hingga ekosistem dasar laut. Indonesia memiliki 12 persen spesies mamalia dunia (peringkat ke-2 dunia), 7,3 persen spesies reptil (peringkat ke-4), 17 persen spesies burung (peringkat ke-5), dan 270 spesies amfibi (peringkat ke-6).
Craig Jung dalam artikel The Biogeography of the Komodo Dragon menyebut komodo (Varanus komodoensis) sebagai reptil karnivora terbesar yang diperkirakan berasal dari era dinosaurus. Mereka tiba di Pulau Flores, Rinca, dan Gili Motang di Nusa Tenggara Timur sekitar 10.000 tahun lalu.
Mumpuni menambahkan, untuk menggali aspek ilmiah komodo, butuh dana besar di tengah terbatasnya dana penelitian Indonesia. Mereka harus berbagi dana penelitian dengan bidang lain yang juga mendesak dilakukan. Solusinya, penelitian komodo dilakukan melalui kerja sama dengan peneliti asing.
Banyak peneliti khusus komodo berasal dari Eropa, khususnya Jerman. Sementara peneliti Indonesia umumnya berlatar belakang ahli herpetologi.
Untuk ahli herpetologi saja, ujarnya, jumlah peneliti Indonesia hanya kurang dari 10 orang. ”Minat meneliti satwa liar kurang karena peneliti harus pergi ke pedalaman, berisiko tinggi, dan tanpa asuransi keselamatan. Padahal, gaji dan dana penelitiannya kecil,” katanya.
Tak dimanfaatkan
Secara terpisah, ahli ekologi dan perilaku alam liar, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, ITB, Achmad Sjarmidi, mengatakan, komodo sebenarnya merupakan obyek penelitian yang menarik. Namun, penelitian yang dilakukan masih sepotong-sepotong sehingga kemampuan yang dimiliki tidak utuh.
Hal itu terjadi karena penelitian komodo belum menjadi prioritas pemerintah. Akibatnya, data penelitian yang ada baru bersifat umum.
Sebagai perbandingan, kata Sjarmidi, Perancis menjadikan penelitian babi hutan sebagai prioritas sehingga memiliki beberapa ahli. Penelitian babi hutan menjadi fokus karena binatang liar tersebut menjadi target perburuan. Dengan data penelitian yang ada, para ahli dapat mengontrol secara penuh jumlah, sebaran, dan nisbah seks babi hutan itu agar tidak punah.
Di Indonesia, pengelolaan komodo dan spesies langka lainnya dilakukan bersifat umum, tanpa berbasis pada data ilmiah yang telah dikumpulkan peneliti. ”Pengelolaan hanya didasarkan pada istilah langka, tetapi tidak jelas jumlah spesiesnya, sebarannya, hingga kapan survei dilakukan,” ujarnya menambahkan.
Sjarmidi menambahkan, minat mahasiswa untuk meneliti kehidupan alam liar Indonesia sangat besar. Namun, mereka terjebak persoalan yang sama seperti yang dialami peneliti ahli di bidangnya, yaitu dana.
Sejumlah mahasiswa pernah mengajukan proposal penelitian alam liar melalui dana penelitian yang dikucurkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. Namun, usaha mereka selalu gagal karena penelitian kehidupan liar tidak termasuk dalam prioritas penelitian pemerintah.
Kondisi itu justru terjadi di tengah perjuangan Indonesia menjadikan komodo sebagai salah satu dari tujuh keajaiban alam. Berdasarkan data www.new7wonders.com, Selasa (1/2), komodo menduduki peringkat ke-10 dari 28 finalis yang dipilih oleh pemilih perempuan dan peringkat kedua berdasarkan usia pemilih berusia kurang dari 18 tahun.
Ahli herpetologi atau kajian amfibi dan reptil di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mumpuni, menegaskan, ahli yang mengetahui segala-seluk beluk komodo memang belum ada di Indonesia. Penelitian biologi di Indonesia masih difokuskan pada pendataan potensi dan sebaran keanekaragaman hayati Indonesia yang belum terkumpul semua.
”Peneliti Indonesia belum menjadikan komodo sebagai kajian khusus karena masih banyak bidang lain yang juga penting dikaji,” katanya.
Berdasarkan data Departemen Kehutanan pada 1994, Indonesia menempati posisi ke-2 dalam jumlah keanekaragaman hayati dunia setelah Brasil. Indonesia diperkirakan memiliki 90 tipe ekosistem mulai dari puncak salju di Pegunungan Jayawijaya hingga ekosistem dasar laut. Indonesia memiliki 12 persen spesies mamalia dunia (peringkat ke-2 dunia), 7,3 persen spesies reptil (peringkat ke-4), 17 persen spesies burung (peringkat ke-5), dan 270 spesies amfibi (peringkat ke-6).
Craig Jung dalam artikel The Biogeography of the Komodo Dragon menyebut komodo (Varanus komodoensis) sebagai reptil karnivora terbesar yang diperkirakan berasal dari era dinosaurus. Mereka tiba di Pulau Flores, Rinca, dan Gili Motang di Nusa Tenggara Timur sekitar 10.000 tahun lalu.
Mumpuni menambahkan, untuk menggali aspek ilmiah komodo, butuh dana besar di tengah terbatasnya dana penelitian Indonesia. Mereka harus berbagi dana penelitian dengan bidang lain yang juga mendesak dilakukan. Solusinya, penelitian komodo dilakukan melalui kerja sama dengan peneliti asing.
Banyak peneliti khusus komodo berasal dari Eropa, khususnya Jerman. Sementara peneliti Indonesia umumnya berlatar belakang ahli herpetologi.
Untuk ahli herpetologi saja, ujarnya, jumlah peneliti Indonesia hanya kurang dari 10 orang. ”Minat meneliti satwa liar kurang karena peneliti harus pergi ke pedalaman, berisiko tinggi, dan tanpa asuransi keselamatan. Padahal, gaji dan dana penelitiannya kecil,” katanya.
Tak dimanfaatkan
Secara terpisah, ahli ekologi dan perilaku alam liar, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, ITB, Achmad Sjarmidi, mengatakan, komodo sebenarnya merupakan obyek penelitian yang menarik. Namun, penelitian yang dilakukan masih sepotong-sepotong sehingga kemampuan yang dimiliki tidak utuh.
Hal itu terjadi karena penelitian komodo belum menjadi prioritas pemerintah. Akibatnya, data penelitian yang ada baru bersifat umum.
Sebagai perbandingan, kata Sjarmidi, Perancis menjadikan penelitian babi hutan sebagai prioritas sehingga memiliki beberapa ahli. Penelitian babi hutan menjadi fokus karena binatang liar tersebut menjadi target perburuan. Dengan data penelitian yang ada, para ahli dapat mengontrol secara penuh jumlah, sebaran, dan nisbah seks babi hutan itu agar tidak punah.
Di Indonesia, pengelolaan komodo dan spesies langka lainnya dilakukan bersifat umum, tanpa berbasis pada data ilmiah yang telah dikumpulkan peneliti. ”Pengelolaan hanya didasarkan pada istilah langka, tetapi tidak jelas jumlah spesiesnya, sebarannya, hingga kapan survei dilakukan,” ujarnya menambahkan.
Sjarmidi menambahkan, minat mahasiswa untuk meneliti kehidupan alam liar Indonesia sangat besar. Namun, mereka terjebak persoalan yang sama seperti yang dialami peneliti ahli di bidangnya, yaitu dana.
Sejumlah mahasiswa pernah mengajukan proposal penelitian alam liar melalui dana penelitian yang dikucurkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. Namun, usaha mereka selalu gagal karena penelitian kehidupan liar tidak termasuk dalam prioritas penelitian pemerintah.
0 comments:
Post a Comment