Revisi UU Sisdiknas Mendesak Dilakukan
>> Wednesday, August 18, 2010
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, yang proses penyusunannya menimbulkan kegaduhan antara pro dan kontra, ternyata implementasinya melahirkan sejumlah masalah krusial. Oleh karena itu, menjadi amat mendesak bagi UU ini untuk direvisi oleh anggota DPR periode 2009-2014.
Beberapa persoalan krusial yang sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar untuk merevisi UU Sisdiknas antara lain sebagai berikut. Pertama, pembatalan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010.
UU BHP adalah amanat dari UU Sisdiknas Pasal 53 agar penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dengan dibatalkannya UU BHP, Pasal 53 ini tidak bermakna lagi; jika tidak direvisi, hanya menjadi pasal sampah belaka.
Kedua, masalah krusial yang selalu muncul setiap tahun dan menghabiskan energi adalah ujian nasional (UN). UN sebetulnya tidak punya pijakan yang jelas dalam UU Sisdiknas karena Pasal 57-59 hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan, yang implementasinya tidak tentu berupa UN.
Namun, oleh pemerintah diturunkan terlalu jauh dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mengamanatkan UN dari SD hingga SMTA. PP No 19/2005 itulah yang dijadikan pedoman oleh pemerintah untuk melaksanakan UN. Tetapi, apabila dirunut pasalnya dalam UU Sisdiknas, memang tidak ada. Pasal 57-59 yang mengatur masalah evaluasi pendidikan saatnya direvisi agar lebih tegas dan tidak multitafsir.
Sebetulnya, bunyi pasal itu sudah tegas, tetapi entah bagaimana pemerintah dapat menafsirkan beda dengan tafsiran masyarakat. Dalam ketiga pasal tersebut tidak ada yang mengindikasikan pelaksanaan UN.
Bahkan, kalau membaca Pasal 59 Ayat 3 jelas sekali bahwa ”Masyarakat dan/ atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi hasil belajar”. Itu artinya evaluasi belajar itu seperti model tes TOEFL yang dapat diselenggarakan oleh badan-badan mandiri yang kredibel, bukan justru dalam bentuk UN seperti yang dipaksakan oleh pemerintah.
Ketiga, masalah anggaran pendidikan yang problematik. UU Sisdiknas Pasal 49 Ayat 1 menyebutkan, ”Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimum 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.
Namun, dalam realitasnya, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2008, anggaran 20 persen termasuk gaji guru dan dosen serta pendidikan kedinasan. Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bunyi Ayat 1 Pasal 49 tidak ada maknanya lagi.
Keempat, menghapus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). RSBI dan SBI telah menimbulkan persoalan sosial baru karena telah menutup akses masyarakat secara umum terhadap layanan pendidikan yang bermutu serta telah menciptakan kastanisasi sekolah menjadi beberapa kasta. Ini tentu menimbulkan persoalan tersendiri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kementerian Pendidikan Nasional sekarang juga tengah mengevaluasi keberadaan RSBI/SBI, tetapi tampaknya hanya dari aspek teknis belaka. Padahal, persoalan RSBI/SBI lebih bersifat ideologis-konstitusional.
Keberadaan RSBI/SBI merupakan turunan dari UU Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3 yang mengamanatkan agar setiap daerah menyelenggarakan minimum satu satuan pendidikan bertaraf internasional. Mengingat implementasi pasal itu dalam bentuk RSBI/SBI, menimbulkan persoalan serius (konstitusional), pasal tersebut perlu dihilangkan. Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”, sementara pengembangan RSBI/SBI sekarang tanpa disadari menciptakan lebih dari satu sistem pendidikan nasional, bahkan menciptakan kastanisasi sekolah.
UU Sisdiknas tidak boleh menabrak konstitusi. Implementasi dari Ayat 3 Pasal 50 dalam bentuk RSBI/SBI juga bertentangan dengan Ayat 1 Pasal 5 UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu serta Ayat 1 Pasal 11 tentang layanan pendidikan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Sementara itu, yang bisa bersekolah di RSBI/SBI hanya golongan mampu karena biayanya mahal. Kelima, usia masuk sekolah dasar (SD). Persoalan usia masuk SD selalu menjadi ramai setiap tahun ajaran baru karena banyak anak di bawah usia enam tahun ingin masuk SD.
Di sisi lain, para guru secara formal selalu terpaku pada UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa ”setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar” (Pasal 34 Ayat 1). Artinya, batas minimum masuk SD adalah enam tahun. Jika kurang dari enam tahun, meskipun anak sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung, tetap tidak bisa diterima.
Di lapangan, usia masuk SD ini menjadi praktik jual beli kursi—terlebih di SD negeri favorit—tarifnya mencapai jutaan rupiah. Batas minimum usia masuk SD enam tahun itu memang perlu dikaji lagi.
Pada masa lalu (sebelum dekade 1980-an), ketika gizi keluarga belum baik, pendidikan orangtua masih rendah, kesadaran bersekolah rendah, baru ada TVRI, media massa dan sarana komunikasi masih terbatas, tentu saja perkembangan fisik dan mental anak pun lambat.
Namun, pascadekade 1980-an (apalagi sekarang), ketika gizi keluarga bagus, orangtua terdidik dan sadar akan pendidikan, sarana komunikasi dan fasilitas pendidikan lengkap, serta banyak media cetak maupun elektronik, perkembangan fisik dan mental anak pun mengalami percepatan. Anak berusia lima tahun tanpa paksaan sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung; mental mereka juga sudah matang. Perkembangan fisik dan mental anak seperti itu perlu diakomodasi dalam perundang-undangan pendidikan nasional sehingga tidak dijadikan sebagai obyek jual beli usia.
Keenam, masuknya pendidikan asing. Hal itu diatur dalam Pasal 65 Ayat 1-3, baik untuk pendidikan dasar maupun perguruan tinggi. Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu diatur dalam Pasal 65 Ayat 1-3. Pasal ini dinilai terlalu liberal karena Amerika Serikat saja yang dikenal liberal sangat melindungi pendidikan bangsanya, sebaliknya kita justru mengundang asing untuk turut mendidik bangsa kita.
Keberadaan Pasal 65 ini sebetulnya tidak perlu. Persoalan lain yang cukup krusial dan perlu dirumuskan kembali pasalnya adalah masalah pendanaan pendidikan mengingat pasal satu dan lainnya saling bertentangan.
Pasal 43 Ayat 2-3 mengatur masalah komitmen pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, tetapi Pasal 46 Ayat 1 jelas sekali memberikan beban tanggung jawab kepada masyarakat untuk menanggung pendanaan pendidikan.
Masih banyak lagi pasal yang perlu direvisi agar tidak menimbulkan keruwetan di lapangan. Semoga para anggota Komisi X DPR periode 2009-2014 punya semangat untuk melakukan reformasi perundang-undangan pendidikan nasional.
Selengkapnya...
Beberapa persoalan krusial yang sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar untuk merevisi UU Sisdiknas antara lain sebagai berikut. Pertama, pembatalan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010.
UU BHP adalah amanat dari UU Sisdiknas Pasal 53 agar penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dengan dibatalkannya UU BHP, Pasal 53 ini tidak bermakna lagi; jika tidak direvisi, hanya menjadi pasal sampah belaka.
Kedua, masalah krusial yang selalu muncul setiap tahun dan menghabiskan energi adalah ujian nasional (UN). UN sebetulnya tidak punya pijakan yang jelas dalam UU Sisdiknas karena Pasal 57-59 hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan, yang implementasinya tidak tentu berupa UN.
Namun, oleh pemerintah diturunkan terlalu jauh dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mengamanatkan UN dari SD hingga SMTA. PP No 19/2005 itulah yang dijadikan pedoman oleh pemerintah untuk melaksanakan UN. Tetapi, apabila dirunut pasalnya dalam UU Sisdiknas, memang tidak ada. Pasal 57-59 yang mengatur masalah evaluasi pendidikan saatnya direvisi agar lebih tegas dan tidak multitafsir.
Sebetulnya, bunyi pasal itu sudah tegas, tetapi entah bagaimana pemerintah dapat menafsirkan beda dengan tafsiran masyarakat. Dalam ketiga pasal tersebut tidak ada yang mengindikasikan pelaksanaan UN.
Bahkan, kalau membaca Pasal 59 Ayat 3 jelas sekali bahwa ”Masyarakat dan/ atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi hasil belajar”. Itu artinya evaluasi belajar itu seperti model tes TOEFL yang dapat diselenggarakan oleh badan-badan mandiri yang kredibel, bukan justru dalam bentuk UN seperti yang dipaksakan oleh pemerintah.
Ketiga, masalah anggaran pendidikan yang problematik. UU Sisdiknas Pasal 49 Ayat 1 menyebutkan, ”Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimum 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.
Namun, dalam realitasnya, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2008, anggaran 20 persen termasuk gaji guru dan dosen serta pendidikan kedinasan. Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bunyi Ayat 1 Pasal 49 tidak ada maknanya lagi.
Keempat, menghapus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). RSBI dan SBI telah menimbulkan persoalan sosial baru karena telah menutup akses masyarakat secara umum terhadap layanan pendidikan yang bermutu serta telah menciptakan kastanisasi sekolah menjadi beberapa kasta. Ini tentu menimbulkan persoalan tersendiri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kementerian Pendidikan Nasional sekarang juga tengah mengevaluasi keberadaan RSBI/SBI, tetapi tampaknya hanya dari aspek teknis belaka. Padahal, persoalan RSBI/SBI lebih bersifat ideologis-konstitusional.
Keberadaan RSBI/SBI merupakan turunan dari UU Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3 yang mengamanatkan agar setiap daerah menyelenggarakan minimum satu satuan pendidikan bertaraf internasional. Mengingat implementasi pasal itu dalam bentuk RSBI/SBI, menimbulkan persoalan serius (konstitusional), pasal tersebut perlu dihilangkan. Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”, sementara pengembangan RSBI/SBI sekarang tanpa disadari menciptakan lebih dari satu sistem pendidikan nasional, bahkan menciptakan kastanisasi sekolah.
UU Sisdiknas tidak boleh menabrak konstitusi. Implementasi dari Ayat 3 Pasal 50 dalam bentuk RSBI/SBI juga bertentangan dengan Ayat 1 Pasal 5 UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu serta Ayat 1 Pasal 11 tentang layanan pendidikan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Sementara itu, yang bisa bersekolah di RSBI/SBI hanya golongan mampu karena biayanya mahal. Kelima, usia masuk sekolah dasar (SD). Persoalan usia masuk SD selalu menjadi ramai setiap tahun ajaran baru karena banyak anak di bawah usia enam tahun ingin masuk SD.
Di sisi lain, para guru secara formal selalu terpaku pada UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa ”setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar” (Pasal 34 Ayat 1). Artinya, batas minimum masuk SD adalah enam tahun. Jika kurang dari enam tahun, meskipun anak sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung, tetap tidak bisa diterima.
Di lapangan, usia masuk SD ini menjadi praktik jual beli kursi—terlebih di SD negeri favorit—tarifnya mencapai jutaan rupiah. Batas minimum usia masuk SD enam tahun itu memang perlu dikaji lagi.
Pada masa lalu (sebelum dekade 1980-an), ketika gizi keluarga belum baik, pendidikan orangtua masih rendah, kesadaran bersekolah rendah, baru ada TVRI, media massa dan sarana komunikasi masih terbatas, tentu saja perkembangan fisik dan mental anak pun lambat.
Namun, pascadekade 1980-an (apalagi sekarang), ketika gizi keluarga bagus, orangtua terdidik dan sadar akan pendidikan, sarana komunikasi dan fasilitas pendidikan lengkap, serta banyak media cetak maupun elektronik, perkembangan fisik dan mental anak pun mengalami percepatan. Anak berusia lima tahun tanpa paksaan sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung; mental mereka juga sudah matang. Perkembangan fisik dan mental anak seperti itu perlu diakomodasi dalam perundang-undangan pendidikan nasional sehingga tidak dijadikan sebagai obyek jual beli usia.
Keenam, masuknya pendidikan asing. Hal itu diatur dalam Pasal 65 Ayat 1-3, baik untuk pendidikan dasar maupun perguruan tinggi. Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu diatur dalam Pasal 65 Ayat 1-3. Pasal ini dinilai terlalu liberal karena Amerika Serikat saja yang dikenal liberal sangat melindungi pendidikan bangsanya, sebaliknya kita justru mengundang asing untuk turut mendidik bangsa kita.
Keberadaan Pasal 65 ini sebetulnya tidak perlu. Persoalan lain yang cukup krusial dan perlu dirumuskan kembali pasalnya adalah masalah pendanaan pendidikan mengingat pasal satu dan lainnya saling bertentangan.
Pasal 43 Ayat 2-3 mengatur masalah komitmen pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, tetapi Pasal 46 Ayat 1 jelas sekali memberikan beban tanggung jawab kepada masyarakat untuk menanggung pendanaan pendidikan.
Masih banyak lagi pasal yang perlu direvisi agar tidak menimbulkan keruwetan di lapangan. Semoga para anggota Komisi X DPR periode 2009-2014 punya semangat untuk melakukan reformasi perundang-undangan pendidikan nasional.